Rabu, 24 Juni 2015

Penetuan Konsep Mikro

Selamat siang pembaca blog,
Setelah konsep messo didapatkan, kami mulai berpikir konsep apakah yang cocok guna kami aplikasikan pada wilayah mikro kami yang berada pada daerah pesisir yang rawan akan terjangan abrasi serta banjir rob. Berdasarkan data yang kami dapatkan dari instansi BLH Kabupaten Kedal bahwa di Desa Mororejo terdapat hutan mangrove seluas 55 Ha yang termasuk ke dalam wilayah mikro kami, ditambah dengan kerusakan sebesar 37,63 Ha. Oleh karena itu kami ingin mengembangkan kawasan yang berbasis pada pelestarian hutan mangrove karena di wilayah kami memiliki potensi untuk dikembangkan hutan mangrove. Disamping itu bakau (tanaman yang hidup di hutan mangrove) juga dapat mengatasi terjadinya abrasi yang terjadi di wilayah kami. Kami pun sepakat untuk mengembangkan kawasan yang berbasis pada pelestarian hutan mangrove. Kami pun mulai berfikir untuk mengembangkan pelestarian seperti apa yang tepat dan harus mengikutsertakan masyarakat untuk membuka usahanya di kawasan tersebut. Kami pun memunculkan ide untuk mengembangkan ekowisata.
Kenapa ekowisata? Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang erat hubungannya dengan prinsip konservasi. Secara umum objek kegiatan ekowisata tidak jauh berbeda dari kegiatan wisata alam lainnya, namun memiliki nilai-nilai moral dan tanggung jawab yang tinggi terhadap objek wisatanya. Kegiatan ekowisata di Indonesia diatur dalam Permendagri No. 33 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah. Terdapat beberapa jenis ekowisata yaitu wisata pemandangan; petualangan; kebudayaan dan sejarah; penelitian; sosial, konservasi dan pendidikan. Pengelolaan ekowisata merupakan wewenang dari Kementrian Kehutanan, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata dan Kementrian Dalam Negeri dengan peran pemerintah daerah dalam mengembangkan ekowisata dilandasi prinsip-prinsip sebagai berikut (menurut Permendagri No. 33 tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah dalam pasal 2) :
·         Kesesuaian antara jenis dan karakteristik ekowisata;
·         Konservasi, yaitu melindungi, mengawetkan, dan memanfaatkan secara lestari sumber daya alam yang digunakan untuk ekowisata;
·         Ekonomis, yaitu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan;
·         Edukasi, yaitu mengandung unsur pendidikan untuk mengubah persepsi seseorang agar memiliki kepedulian, tanggung jawab, dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya;
·         Memberikan kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung;
·         Partisipasi masyarakat, yaitu peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata dengan menghormati nilai-nilai sosial, budaya, dan keagamaan masyarakat di sekitar kawasan, serta
·         Menampung kearifan lokal.
Sehingga kami kembali sepakat untuk dapat mengembangkan ekowisata berbasis mangrove untuk wilayah mikro kami. Menurut Dahuri (1996), alternatif pemanfaatan ekosistem mangrove yang paling memungkinkan tanpa merusak ekosistem ini meliputi penelitian ilmiah, pendidikan, dan rekreasi terbatas/ wisata lingkungan. Sehingga menguatkan kami dalam memilih tema ini. Kami pun mulai mendalami seperti apakah ekowisata mangrove itu. Menurut Nontji (2005) mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi dengan 89 jenis tumbuhan yang 35 jenis diantaranya berupa pohon dan selebihnya berupa terna, perdu, liana, epifit, dan parasite. Beberapa contoh mangrove yang berupa pohon antara lain adalah mangrove, api-api, tancang, pedada, nyirih, dan tengar. Jenis mangrove, api-api, tancang, dan pedada merupakan tumbuhan mangrove utama yang paling banyak dijumpai (Nontji, 2005). Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan, dan menstabilkan tanah habitatnya.

Menurut Bahar, 2004 potensi rekreasi dalam ekosistem mangrove antara lain yaitu:
·         Bentuk perakaran khas yang umum ditemukan pada beberapa jenis vegetasi mangrove, seperti akar tunjang, akar lutu, akar pasak, dan akar papan;
·         Buah yang bersifat viviparious yang terlihat oleh beberapa jenis vegetasi mangrove, seperti Rhizophora sp., dan Ceriops sp.,
·         Adanya zonasi transisi dari pinggir pantai sampai pedalaman;
·         Berbagai jenis fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, seperti burung, serangga, babi hutan, buaya, ular, udang, ikan, kerang-kerangan, dan kepiting;
·         Atraksi adat istiadat masyarakat setempat yang berkaitan dengan sumberdaya mangrove;
·         Hutan-hutan mangrove yang dikelola secara rasional untuk pertambakan tumpang sari dan pembuatan garam.

Potensi tersebut dapat dikembangkan untuk kegiatan lintas alam, memancing, berlayar, berenang, pengamatan jenis burung, atraksi satwa liar, fotografi, pendidikan, piknik, berkemah, serta adat istiadat penduduk lokal yang hidupnya bergantung pada keberadaan hutan mangrove. Konsep ini dipilih untuk menanggulangi masalah yang terdapat di lokasi perancangan sebagi bentuk tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan di kawasan pesisir. Diharapkan dengan pembangunan Move Park maka dapat memperbaiki kondisi lingkungan sekaligus meningkatkan perekonomian melalui aktivitas pariwisata.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar