Selamat siang pembaca blog,
Setelah konsep messo didapatkan, kami
mulai berpikir konsep apakah yang cocok guna kami aplikasikan pada wilayah
mikro kami yang berada pada daerah pesisir yang rawan akan terjangan abrasi
serta banjir rob. Berdasarkan data yang kami dapatkan dari instansi BLH
Kabupaten Kedal bahwa di Desa Mororejo terdapat hutan mangrove seluas 55 Ha yang
termasuk ke dalam wilayah mikro kami, ditambah dengan kerusakan sebesar 37,63
Ha. Oleh karena itu kami ingin mengembangkan kawasan yang berbasis pada
pelestarian hutan mangrove karena di wilayah kami memiliki potensi untuk
dikembangkan hutan mangrove. Disamping itu bakau (tanaman yang hidup di hutan
mangrove) juga dapat mengatasi terjadinya abrasi yang terjadi di wilayah kami.
Kami pun sepakat untuk mengembangkan kawasan yang berbasis pada pelestarian
hutan mangrove. Kami pun mulai berfikir untuk mengembangkan pelestarian seperti
apa yang tepat dan harus mengikutsertakan masyarakat untuk membuka usahanya di
kawasan tersebut. Kami pun memunculkan ide untuk mengembangkan ekowisata.
Kenapa
ekowisata?
Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang erat hubungannya dengan prinsip
konservasi. Secara umum objek kegiatan ekowisata tidak jauh berbeda dari
kegiatan wisata alam lainnya, namun memiliki nilai-nilai moral dan tanggung
jawab yang tinggi terhadap objek wisatanya. Kegiatan ekowisata di Indonesia
diatur dalam Permendagri No. 33 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengembangan
Ekowisata di Daerah. Terdapat beberapa jenis ekowisata yaitu wisata
pemandangan; petualangan; kebudayaan dan sejarah; penelitian; sosial,
konservasi dan pendidikan. Pengelolaan ekowisata merupakan wewenang dari
Kementrian Kehutanan, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata dan Kementrian Dalam
Negeri dengan peran pemerintah daerah dalam mengembangkan ekowisata dilandasi
prinsip-prinsip sebagai berikut (menurut Permendagri No. 33 tahun 2009 tentang
Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah dalam pasal 2) :
·
Kesesuaian antara jenis dan karakteristik
ekowisata;
·
Konservasi, yaitu melindungi, mengawetkan,
dan memanfaatkan secara lestari sumber daya alam yang digunakan untuk
ekowisata;
·
Ekonomis, yaitu memberikan manfaat untuk
masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya
serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan;
·
Edukasi, yaitu mengandung unsur pendidikan
untuk mengubah persepsi seseorang agar memiliki kepedulian, tanggung jawab, dan
komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya;
·
Memberikan kepuasan dan pengalaman kepada
pengunjung;
·
Partisipasi masyarakat, yaitu peran serta
masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ekowisata
dengan menghormati nilai-nilai sosial, budaya, dan keagamaan masyarakat di
sekitar kawasan, serta
·
Menampung kearifan lokal.
Sehingga kami kembali sepakat untuk
dapat mengembangkan ekowisata berbasis mangrove untuk wilayah mikro kami.
Menurut Dahuri (1996), alternatif pemanfaatan ekosistem mangrove yang paling
memungkinkan tanpa merusak ekosistem ini meliputi penelitian ilmiah,
pendidikan, dan rekreasi terbatas/ wisata lingkungan. Sehingga menguatkan kami
dalam memilih tema ini. Kami pun mulai mendalami seperti apakah ekowisata
mangrove itu. Menurut Nontji (2005) mangrove di Indonesia dikenal mempunyai
keragaman jenis yang tinggi dengan 89 jenis tumbuhan yang 35 jenis diantaranya
berupa pohon dan selebihnya berupa terna, perdu, liana, epifit, dan parasite.
Beberapa contoh mangrove yang berupa pohon antara lain adalah mangrove,
api-api, tancang, pedada, nyirih, dan tengar. Jenis mangrove, api-api, tancang,
dan pedada merupakan tumbuhan mangrove utama yang paling banyak dijumpai
(Nontji, 2005). Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang
menangkap, menahan endapan, dan menstabilkan tanah habitatnya.
Menurut Bahar, 2004 potensi rekreasi
dalam ekosistem mangrove antara lain yaitu:
·
Bentuk
perakaran khas yang umum ditemukan pada beberapa jenis vegetasi mangrove,
seperti akar tunjang, akar lutu, akar pasak, dan akar papan;
·
Buah
yang bersifat viviparious yang terlihat oleh beberapa jenis vegetasi mangrove,
seperti Rhizophora sp., dan Ceriops sp.,
·
Adanya
zonasi transisi dari pinggir pantai sampai pedalaman;
·
Berbagai
jenis fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, seperti burung,
serangga, babi hutan, buaya, ular, udang, ikan, kerang-kerangan, dan kepiting;
·
Atraksi
adat istiadat masyarakat setempat yang berkaitan dengan sumberdaya mangrove;
·
Hutan-hutan
mangrove yang dikelola secara rasional untuk pertambakan tumpang sari dan
pembuatan garam.
Potensi tersebut dapat dikembangkan
untuk kegiatan lintas alam, memancing, berlayar, berenang, pengamatan jenis
burung, atraksi satwa liar, fotografi, pendidikan, piknik, berkemah, serta adat
istiadat penduduk lokal yang hidupnya bergantung pada keberadaan hutan
mangrove. Konsep ini dipilih untuk menanggulangi masalah yang terdapat di
lokasi perancangan sebagi bentuk tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan
di kawasan pesisir. Diharapkan dengan pembangunan Move Park maka dapat
memperbaiki kondisi lingkungan sekaligus meningkatkan perekonomian melalui
aktivitas pariwisata.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar